TIGA RESEP JEMBATAN INTERAKSI
ANTARA SESAMA MANUSIA
Suatu hal yang
realistik ( kenyataan ) bila ada sebuah kenyataan siapapun manusianya tidak
akan bisa hidup sendiri – sendiri ( indivindualistik ) dalam mendayagunakan
fitrah ( pertumbuhan dasarnya ) dinamikanya sebagai makhluk yang tercipta
dinamis dan kreatif. Potensi dan sumber daya manusia ( SDM ) yang ada pada tiap orang mustahil
bisa ditumbuhkembangkan kalau saja segala sumber daya yang ada disekitarnya
tidak ikut berperan dan difungsikanya, baik sebagai subjek maupun objek, baik
yang aktif maupun yang pasif baik yang hidup maupun benda mati. Semuanya
menyatu saling keterkaitan dan ketergantungan, saling menguntungkan, saling
memegang peranan sesuai dengan sumber daya guna, potensi dan kemampuan
masing-masingnya . Orang tidak akan bisa makan nasi kalau petani tidak
produktif lagi, orang tidak akan bisa beribadah dengan sempurna kalau perlengkapan
ibadah tidak ada, orang akan kekurangan vitamin dan protein kalau petani,
nelayan, ternak, buah – buahan, sayur – sayuran tidak produktif lagi. Para
pengusaha, konglomerat tidak akan bisa bertahan dan berjaya kalau para pekerja
dan buruhnya pada mogok dan unjuk rasa. Suatu Negara tidak akan aman dan
tentram kalau petugas keamanan tidak ada, atau rakyat selalu berontak dan
terancam kemiskinan dan kemelaratan dan begitulah seterusnya. Pendek kata
segala unsur dan komponen senantiasa menuntut hubungan dan mitra yang serasi,
seimbang, selaras dan harmonis untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan hidup dan
mencapai segala apa yang diinginkan. Artinya diperlukan sekali kerja sama dan
kebersamaan, perlu dihindari pelecehan – pelecehan dan kurang menghargai serta
tidak menghayati keperluan, harkat, martabat dan kesejahteraan yang satu dengan
yang lainnya.
Secara
formalitas konsep saling membutuhkan tersebut, sudah menjadi hal yang lumrah
dan selalu digembar-gemborkan, tetapi sangat disayangkan bila kita mau jujur,
betapa banyak orang disekitar kita yang cenderung hidup individualis, egoistis,
bergaya hidup mewah, menghambur-hamburkan harta kekayaan tanpa peduli dengan
nasib orang lain. Seolah tidak butuh lagi dengan orang lain, fitrah menolong,
memberi sudah terbiasa dengan ungkapan “ ada udang dibalik batu “. Kehidupan
yang demikian menggambarkan betapa rendahnya nilai persahabatan, persaudaraan,
rasa social karena selalu diukur dengan kebendaan dan materi. Pergaulan seperti
itu jelas tidak akan bertahan lama karena harga diri seseorang telah ditukar
dengan harta, tahta, pangkat, jabatan, serta peranan yang dimilikinya bukan
lagi pada kepribadian dan norma –norma yang dimilikinya, yang akhirnya
berkembanglah budaya pengelompokkan, strata, pilah – pilah dalam pergaulan hidup
dan kehidupan. Umpamanya saja orang kaya akan malu dan gengsi bergaul dengan si
miskin, keluarga ningrat merasa hina berteman dengan rakyat biasa, kelompok
elit merasa malu bergaul dengan pribumi, orang berpangkat merasa tak wajar
bersahabat dengan masyarakat awam. Sehingga terjadilah jurang pemisah yang
berkepanjangan dan turun - temurun dari setiap generasi kegenerasi berikutnya.
Akhirnya muncul slogan “yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin”.
Untuk itu, kita
akui dengan sejujurnya betapa indah dan tingginya nilai dan kandungan ajaran
islam yang menempatkan posisi manusia itu sama predikat dan legalitasnya baik
dalam bentuk personal maupun kolektif. Namun yang membedakannya adalah reputasi
dan potensi Taqwanya kepada Allah SWT, sebagaimana firmannya dalam Q.S
Al-hujurat ayat 13 :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”( Q.S Al-hujurat
: 13 )
Bila
dihayati, rujukan dari pergaulan dan persahabatan manusia yang bermacam – macam
karakter adalah taqwa, maksudnya segala bentuk, seluk – beluk dan ragam
pergaulan manusia seyogianya diwarnai dengan taqwa, dimana saja, kapan saja
serta dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Disebabkan beragamnya
karakteristik dan jenis manusia itu dalam interaksi, komunikasi dan
operasionalnya Rosulullah SAW memberikan panduan serta pedoman dalam sabdanya :
“Ada tiga macam yang dapat menjernihkan kecintaan
saudaramu terhadap kamu : engkau memberi salam kepadanya bila bertemu, engkau
melapangkan tempat duduk untuknya, dan engkau memanggilnya dengan panggilan
yang ia sukai ( HR. Thabrani dari Utsman dan Abu Thalhah ).
Pada
hadis tersebut ada tiga resep atau perekat yang menjadi jembatan interaksi
dalam pergaulan dan hubungan sesama manusia, yaitu :
1.
Setiap
bertemu terlebih dahulu ucapkan salam, kita doakan saudara kita agar senantiasa
selamat, tentram, aman dan sejahtera dalam hidupnya. Dengan sendirinya
merupakan kewajiban pula bagi kita yang diberi salam menjawab salam dengan doa
semoga keselamatan senantiasa tercurah kepadanya ,semoga diberi rizki yang
berkah, sehat wal afiat, kelapangan dalam hidup, hidup dalam beramal dan mati
dalam keadaan iman dan islam. Bahkan Allah SWT menganjurkan kepada yang diberi
salam untuk menjawab dengan yang lebih baik lagi, seperti firmanya dalam Q.S
An-nisa’ ayat 86 :
“Dan apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya,
atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) , Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu.” ( Q.S An-nisa’
ayat 86 )
Dari
sini dapat dipahami bahwa bagaimanapun juga bentuk dan jenis orangnya ketika ia
mengucapkan salam, maka kita jawab dengan yang terbaik kepadanya. Dengan
demikian kita akan terhindar dari sifat iri, dengki, sentiment, menghasut,
merendahkan dan sebaginya, sebaliknya akan tercipta kedamaian, ketentraman pada
diri setiap insan karena masing – masing senantiasa berupaya untuk menciptakan
keselamatan dalam interaksi dan kominikasi dalam pergaulan hidupnya.
2.
Melapangkan
tempat duduk ( majelis ) dengan arti kata bahwa setiap orang memilki hak dan
kewajiban yang sama dalam hidup, untuk itu didalam kehidupan sangat diperlukan
adanya tenggang rasa, tepo selero, menghargai dan menghormati orang lain,
memberikan kesempatan untuk merasakan dan memperoleh kenikmatan hidup, sangat
dituntut untuk saling tolong –menolong, saling membantu dan solidaritas serta
loyalitas dalam pergaulan. Hindarkan
sifat monopoli, egoisme, indivindualisme,sadisme, sifat cuekisme dan sifat
saling menekan dan dendam serta isme –
isme lainnya. Tetapi berusaha menanamkan
sifat suka memberi, saling menopang serta melapangkan antara sesama.sebagaimana
firmannya :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” ( Q.S Al- Maidah
: 2 )
Ayat
tersebut memberi suatu garisan kepada kita pada dasarnya tenggang rasa, jiwa
tolong – menolong dan saling memberi kesempatan itu dianjurkan, tetapi hal itu
semua berlaku dalam hal kebaikan dan taqwa kepada Allah SWT. Jangan kita coba –
coba bekerjasama, memberi kata balance saling asih- asuh dalam unsur-unsur dan
modifikasi yang menjurus kepada keburukan, perusakan dan kepentingan diri
sendiri, bekerjasama dalam menyalahgunakan wewenang, jabatan dan kedudukan,
penyelewengan potensi dan sumber daya manusia yang cenderung merugikan diri
sendiri dan orang lain.
3.
Memanggil
saudara, teman, sahabat dengan panggilan yang paling disenanginya; point ketiga
ini tidak kurang pentinganya untuk diperhatikan dalam menjalin kontak interaksi
pergaulan yang harmonis ditengah – tengah masyarakat. Masing – masing indivindu
semenjak lahir telah diberikan nama yang baik oleh orang tuanya masing –masing,
pemberian nama itu juga merupakan doa agar sang anak kelak menjadi manusia yang
baik sesuai dengan nama yang diberikan kepadanya. Untuk itu dalam pergaulan
hidup hendaknya kita memanggil seseorang sesuai dengan nama yang sebenarnya
walaupun ada istilah yang berkembang ditengah masyarakat “ apalah arti sebuah
nama “. Istilah ini nampaknya perlu diperbaiki, karena betapa banyak orang yang
marah dan rendah diri lantaran namanya dipanggil sembarangan atau tidak menurut
nama yang sebenarnya. Umpamanya seorang lantaran kakinya pincang dipanggil “ si
pincang “ atau tangannya pontong dipanggil “ si Pontong “, karena
pendengarannya kurang dipanggil si pekak’ atau kulitnya penuh panu dipanggil
“si belang” dan sebagainya dan
sebagainya. Pada dasarnya semua plesetan itu bernilai merendahkan orang dan
menganggap kurang dari diri kita sendiri lantaran kecacatan fisik atau fsikis
yang dialaminya. Ini sebetulnya kebiasaan yang tidak baik dalam khazanah
pergaulan hidup manusia karena dapat merusak dan merenggangkan hubungan sesame
manusia. Sebab kita bisa merasakan sendiri bagaimana kalau kita dipanggil orang
lain tidak sesuai dengan nama yang sebenarnya, makanya tentu kita tidak berbuat
demikian terhadap orang lain. Justru cukup beralasan bila terjadi perkelahian
atau saling tidak tegur sapa lantaran nama seseorang dilecehkan, apalagi kalau
nama baik seseorang kita injak-injak dan acak-acak tentu akan lebih berat lagi
persoalannya, untuk itu panggilah saudara, sahabat dan teman kita dengan nama
yang disenanginya.