Jumat, 06 Februari 2015

TIGA RESEP JEMBATAN INTERAKSI ANTARA SESAMA MANUSIA



TIGA RESEP JEMBATAN INTERAKSI   
ANTARA SESAMA MANUSIA


Suatu hal yang realistik ( kenyataan ) bila ada sebuah kenyataan siapapun manusianya tidak akan bisa hidup sendiri – sendiri ( indivindualistik ) dalam mendayagunakan fitrah ( pertumbuhan dasarnya ) dinamikanya sebagai makhluk yang tercipta dinamis dan kreatif. Potensi dan sumber daya manusia       ( SDM ) yang ada pada tiap orang mustahil bisa ditumbuhkembangkan kalau saja segala sumber daya yang ada disekitarnya tidak ikut berperan dan difungsikanya, baik sebagai subjek maupun objek, baik yang aktif maupun yang pasif baik yang hidup maupun benda mati. Semuanya menyatu saling keterkaitan dan ketergantungan, saling menguntungkan, saling memegang peranan sesuai dengan sumber daya guna, potensi dan kemampuan masing-masingnya . Orang tidak akan bisa makan nasi kalau petani tidak produktif lagi, orang tidak akan bisa beribadah dengan sempurna kalau perlengkapan ibadah tidak ada, orang akan kekurangan vitamin dan protein kalau petani, nelayan, ternak, buah – buahan, sayur – sayuran tidak produktif lagi. Para pengusaha, konglomerat tidak akan bisa bertahan dan berjaya kalau para pekerja dan buruhnya pada mogok dan unjuk rasa. Suatu Negara tidak akan aman dan tentram kalau petugas keamanan tidak ada, atau rakyat selalu berontak dan terancam kemiskinan dan kemelaratan dan begitulah seterusnya. Pendek kata segala unsur dan komponen senantiasa menuntut hubungan dan mitra yang serasi, seimbang, selaras dan harmonis untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan hidup dan mencapai segala apa yang diinginkan. Artinya diperlukan sekali kerja sama dan kebersamaan, perlu dihindari pelecehan – pelecehan dan kurang menghargai serta tidak menghayati keperluan, harkat, martabat dan kesejahteraan yang satu dengan yang lainnya.
Secara formalitas konsep saling membutuhkan tersebut, sudah menjadi hal yang lumrah dan selalu digembar-gemborkan, tetapi sangat disayangkan bila kita mau jujur, betapa banyak orang disekitar kita yang cenderung hidup individualis, egoistis, bergaya hidup mewah, menghambur-hamburkan harta kekayaan tanpa peduli dengan nasib orang lain. Seolah tidak butuh lagi dengan orang lain, fitrah menolong, memberi sudah terbiasa dengan ungkapan “ ada udang dibalik batu “. Kehidupan yang demikian menggambarkan betapa rendahnya nilai persahabatan, persaudaraan, rasa social karena selalu diukur dengan kebendaan dan materi. Pergaulan seperti itu jelas tidak akan bertahan lama karena harga diri seseorang telah ditukar dengan harta, tahta, pangkat, jabatan, serta peranan yang dimilikinya bukan lagi pada kepribadian dan norma –norma yang dimilikinya, yang akhirnya berkembanglah budaya pengelompokkan, strata, pilah – pilah dalam pergaulan hidup dan kehidupan. Umpamanya saja orang kaya akan malu dan gengsi bergaul dengan si miskin, keluarga ningrat merasa hina berteman dengan rakyat biasa, kelompok elit merasa malu bergaul dengan pribumi, orang berpangkat merasa tak wajar bersahabat dengan masyarakat awam. Sehingga terjadilah jurang pemisah yang berkepanjangan dan turun - temurun dari setiap generasi kegenerasi berikutnya. Akhirnya muncul slogan “yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin”.
Untuk itu, kita akui dengan sejujurnya betapa indah dan tingginya nilai dan kandungan ajaran islam yang menempatkan posisi manusia itu sama predikat dan legalitasnya baik dalam bentuk personal maupun kolektif. Namun yang membedakannya adalah reputasi dan potensi Taqwanya kepada Allah SWT, sebagaimana firmannya dalam Q.S Al-hujurat ayat 13 :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”( Q.S Al-hujurat : 13 )
Bila dihayati, rujukan dari pergaulan dan persahabatan manusia yang bermacam – macam karakter adalah taqwa, maksudnya segala bentuk, seluk – beluk dan ragam pergaulan manusia seyogianya diwarnai dengan taqwa, dimana saja, kapan saja serta dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Disebabkan beragamnya karakteristik dan jenis manusia itu dalam interaksi, komunikasi dan operasionalnya Rosulullah SAW memberikan panduan serta pedoman dalam sabdanya :
“Ada tiga macam yang dapat menjernihkan kecintaan saudaramu terhadap kamu : engkau memberi salam kepadanya bila bertemu, engkau melapangkan tempat duduk untuknya, dan engkau memanggilnya dengan panggilan yang ia sukai ( HR. Thabrani dari Utsman dan Abu Thalhah ).
Pada hadis tersebut ada tiga resep atau perekat yang menjadi jembatan interaksi dalam pergaulan dan hubungan sesama manusia, yaitu  :
1.      Setiap bertemu terlebih dahulu ucapkan salam, kita doakan saudara kita agar senantiasa selamat, tentram, aman dan sejahtera dalam hidupnya. Dengan sendirinya merupakan kewajiban pula bagi kita yang diberi salam menjawab salam dengan doa semoga keselamatan senantiasa tercurah kepadanya ,semoga diberi rizki yang berkah, sehat wal afiat, kelapangan dalam hidup, hidup dalam beramal dan mati dalam keadaan iman dan islam. Bahkan Allah SWT menganjurkan kepada yang diberi salam untuk menjawab dengan yang lebih baik lagi, seperti firmanya dalam Q.S An-nisa’ ayat 86 :
  
“Dan apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) , Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (  Q.S An-nisa’ ayat 86 )

Dari sini dapat dipahami bahwa bagaimanapun juga bentuk dan jenis orangnya ketika ia mengucapkan salam, maka kita jawab dengan yang terbaik kepadanya. Dengan demikian kita akan terhindar dari sifat iri, dengki, sentiment, menghasut, merendahkan dan sebaginya, sebaliknya akan tercipta kedamaian, ketentraman pada diri setiap insan karena masing – masing senantiasa berupaya untuk menciptakan keselamatan dalam interaksi dan kominikasi dalam pergaulan hidupnya.

2.      Melapangkan tempat duduk ( majelis ) dengan arti kata bahwa setiap orang memilki hak dan kewajiban yang sama dalam hidup, untuk itu didalam kehidupan sangat diperlukan adanya tenggang rasa, tepo selero, menghargai dan menghormati orang lain, memberikan kesempatan untuk merasakan dan memperoleh kenikmatan hidup, sangat dituntut untuk saling tolong –menolong, saling membantu dan solidaritas serta loyalitas  dalam pergaulan. Hindarkan sifat monopoli, egoisme, indivindualisme,sadisme, sifat cuekisme dan sifat saling menekan dan dendam serta  isme – isme lainnya.  Tetapi berusaha menanamkan sifat suka memberi, saling menopang serta melapangkan antara sesama.sebagaimana firmannya :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” ( Q.S Al- Maidah : 2 )

Ayat tersebut memberi suatu garisan kepada kita pada dasarnya tenggang rasa, jiwa tolong – menolong dan saling memberi kesempatan itu dianjurkan, tetapi hal itu semua berlaku dalam hal kebaikan dan taqwa kepada Allah SWT. Jangan kita coba – coba bekerjasama, memberi kata balance saling asih- asuh dalam unsur-unsur dan modifikasi yang menjurus kepada keburukan, perusakan dan kepentingan diri sendiri, bekerjasama dalam menyalahgunakan wewenang, jabatan dan kedudukan, penyelewengan potensi dan sumber daya manusia yang cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain.

3.      Memanggil saudara, teman, sahabat dengan panggilan yang paling disenanginya; point ketiga ini tidak kurang pentinganya untuk diperhatikan dalam menjalin kontak interaksi pergaulan yang harmonis ditengah – tengah masyarakat. Masing – masing indivindu semenjak lahir telah diberikan nama yang baik oleh orang tuanya masing –masing, pemberian nama itu juga merupakan doa agar sang anak kelak menjadi manusia yang baik sesuai dengan nama yang diberikan kepadanya. Untuk itu dalam pergaulan hidup hendaknya kita memanggil seseorang sesuai dengan nama yang sebenarnya walaupun ada istilah yang berkembang ditengah masyarakat “ apalah arti sebuah nama “. Istilah ini nampaknya perlu diperbaiki, karena betapa banyak orang yang marah dan rendah diri lantaran namanya dipanggil sembarangan atau tidak menurut nama yang sebenarnya. Umpamanya seorang lantaran kakinya pincang dipanggil “ si pincang “ atau tangannya pontong dipanggil “ si Pontong “, karena pendengarannya kurang dipanggil si pekak’ atau kulitnya penuh panu dipanggil “si belang”  dan sebagainya dan sebagainya. Pada dasarnya semua plesetan itu bernilai merendahkan orang dan menganggap kurang dari diri kita sendiri lantaran kecacatan fisik atau fsikis yang dialaminya. Ini sebetulnya kebiasaan yang tidak baik dalam khazanah pergaulan hidup manusia karena dapat merusak dan merenggangkan hubungan sesame manusia. Sebab kita bisa merasakan sendiri bagaimana kalau kita dipanggil orang lain tidak sesuai dengan nama yang sebenarnya, makanya tentu kita tidak berbuat demikian terhadap orang lain. Justru cukup beralasan bila terjadi perkelahian atau saling tidak tegur sapa lantaran nama seseorang dilecehkan, apalagi kalau nama baik seseorang kita injak-injak dan acak-acak tentu akan lebih berat lagi persoalannya, untuk itu panggilah saudara, sahabat dan teman kita dengan nama yang disenanginya.

Melalui uraian ini dapat dirasakan betapa harmonisnya hubungan pergaulan yang tertuang dalam konteks ajaran Islam. Bila ketiga komponen itu dapat terlaksana dalam realitas kehidupan setiap insan, dengan sendirinya akan terwujud kebersamaan, saling menghargai, dan menghormati, akan terasa dunia ini menjadi lapang dan tidak seluas daun kelor, akan terhindar sifat dan sikap meremehkan serta merendahkan dan sebagainya. Tentu semua ini menjadi harapan kita semua yang menyadari bahwa kita tidak bisa hidup sendiri, tetapi senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain dan lingkungan disekitar kita, kapan saja dimana dan dalam kondisi yang bagaimanapun juga .

TIGA RESEP JEMBATAN INTERAKSI ANTARA SESAMA MANUSIA



TIGA RESEP JEMBATAN INTERAKSI   
ANTARA SESAMA MANUSIA


Suatu hal yang realistik ( kenyataan ) bila ada sebuah kenyataan siapapun manusianya tidak akan bisa hidup sendiri – sendiri ( indivindualistik ) dalam mendayagunakan fitrah ( pertumbuhan dasarnya ) dinamikanya sebagai makhluk yang tercipta dinamis dan kreatif. Potensi dan sumber daya manusia       ( SDM ) yang ada pada tiap orang mustahil bisa ditumbuhkembangkan kalau saja segala sumber daya yang ada disekitarnya tidak ikut berperan dan difungsikanya, baik sebagai subjek maupun objek, baik yang aktif maupun yang pasif baik yang hidup maupun benda mati. Semuanya menyatu saling keterkaitan dan ketergantungan, saling menguntungkan, saling memegang peranan sesuai dengan sumber daya guna, potensi dan kemampuan masing-masingnya . Orang tidak akan bisa makan nasi kalau petani tidak produktif lagi, orang tidak akan bisa beribadah dengan sempurna kalau perlengkapan ibadah tidak ada, orang akan kekurangan vitamin dan protein kalau petani, nelayan, ternak, buah – buahan, sayur – sayuran tidak produktif lagi. Para pengusaha, konglomerat tidak akan bisa bertahan dan berjaya kalau para pekerja dan buruhnya pada mogok dan unjuk rasa. Suatu Negara tidak akan aman dan tentram kalau petugas keamanan tidak ada, atau rakyat selalu berontak dan terancam kemiskinan dan kemelaratan dan begitulah seterusnya. Pendek kata segala unsur dan komponen senantiasa menuntut hubungan dan mitra yang serasi, seimbang, selaras dan harmonis untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan hidup dan mencapai segala apa yang diinginkan. Artinya diperlukan sekali kerja sama dan kebersamaan, perlu dihindari pelecehan – pelecehan dan kurang menghargai serta tidak menghayati keperluan, harkat, martabat dan kesejahteraan yang satu dengan yang lainnya.
Secara formalitas konsep saling membutuhkan tersebut, sudah menjadi hal yang lumrah dan selalu digembar-gemborkan, tetapi sangat disayangkan bila kita mau jujur, betapa banyak orang disekitar kita yang cenderung hidup individualis, egoistis, bergaya hidup mewah, menghambur-hamburkan harta kekayaan tanpa peduli dengan nasib orang lain. Seolah tidak butuh lagi dengan orang lain, fitrah menolong, memberi sudah terbiasa dengan ungkapan “ ada udang dibalik batu “. Kehidupan yang demikian menggambarkan betapa rendahnya nilai persahabatan, persaudaraan, rasa social karena selalu diukur dengan kebendaan dan materi. Pergaulan seperti itu jelas tidak akan bertahan lama karena harga diri seseorang telah ditukar dengan harta, tahta, pangkat, jabatan, serta peranan yang dimilikinya bukan lagi pada kepribadian dan norma –norma yang dimilikinya, yang akhirnya berkembanglah budaya pengelompokkan, strata, pilah – pilah dalam pergaulan hidup dan kehidupan. Umpamanya saja orang kaya akan malu dan gengsi bergaul dengan si miskin, keluarga ningrat merasa hina berteman dengan rakyat biasa, kelompok elit merasa malu bergaul dengan pribumi, orang berpangkat merasa tak wajar bersahabat dengan masyarakat awam. Sehingga terjadilah jurang pemisah yang berkepanjangan dan turun - temurun dari setiap generasi kegenerasi berikutnya. Akhirnya muncul slogan “yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin”.
Untuk itu, kita akui dengan sejujurnya betapa indah dan tingginya nilai dan kandungan ajaran islam yang menempatkan posisi manusia itu sama predikat dan legalitasnya baik dalam bentuk personal maupun kolektif. Namun yang membedakannya adalah reputasi dan potensi Taqwanya kepada Allah SWT, sebagaimana firmannya dalam Q.S Al-hujurat ayat 13 :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”( Q.S Al-hujurat : 13 )
Bila dihayati, rujukan dari pergaulan dan persahabatan manusia yang bermacam – macam karakter adalah taqwa, maksudnya segala bentuk, seluk – beluk dan ragam pergaulan manusia seyogianya diwarnai dengan taqwa, dimana saja, kapan saja serta dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Disebabkan beragamnya karakteristik dan jenis manusia itu dalam interaksi, komunikasi dan operasionalnya Rosulullah SAW memberikan panduan serta pedoman dalam sabdanya :
“Ada tiga macam yang dapat menjernihkan kecintaan saudaramu terhadap kamu : engkau memberi salam kepadanya bila bertemu, engkau melapangkan tempat duduk untuknya, dan engkau memanggilnya dengan panggilan yang ia sukai ( HR. Thabrani dari Utsman dan Abu Thalhah ).
Pada hadis tersebut ada tiga resep atau perekat yang menjadi jembatan interaksi dalam pergaulan dan hubungan sesama manusia, yaitu  :
1.      Setiap bertemu terlebih dahulu ucapkan salam, kita doakan saudara kita agar senantiasa selamat, tentram, aman dan sejahtera dalam hidupnya. Dengan sendirinya merupakan kewajiban pula bagi kita yang diberi salam menjawab salam dengan doa semoga keselamatan senantiasa tercurah kepadanya ,semoga diberi rizki yang berkah, sehat wal afiat, kelapangan dalam hidup, hidup dalam beramal dan mati dalam keadaan iman dan islam. Bahkan Allah SWT menganjurkan kepada yang diberi salam untuk menjawab dengan yang lebih baik lagi, seperti firmanya dalam Q.S An-nisa’ ayat 86 :
  
“Dan apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) , Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (  Q.S An-nisa’ ayat 86 )

Dari sini dapat dipahami bahwa bagaimanapun juga bentuk dan jenis orangnya ketika ia mengucapkan salam, maka kita jawab dengan yang terbaik kepadanya. Dengan demikian kita akan terhindar dari sifat iri, dengki, sentiment, menghasut, merendahkan dan sebaginya, sebaliknya akan tercipta kedamaian, ketentraman pada diri setiap insan karena masing – masing senantiasa berupaya untuk menciptakan keselamatan dalam interaksi dan kominikasi dalam pergaulan hidupnya.

2.      Melapangkan tempat duduk ( majelis ) dengan arti kata bahwa setiap orang memilki hak dan kewajiban yang sama dalam hidup, untuk itu didalam kehidupan sangat diperlukan adanya tenggang rasa, tepo selero, menghargai dan menghormati orang lain, memberikan kesempatan untuk merasakan dan memperoleh kenikmatan hidup, sangat dituntut untuk saling tolong –menolong, saling membantu dan solidaritas serta loyalitas  dalam pergaulan. Hindarkan sifat monopoli, egoisme, indivindualisme,sadisme, sifat cuekisme dan sifat saling menekan dan dendam serta  isme – isme lainnya.  Tetapi berusaha menanamkan sifat suka memberi, saling menopang serta melapangkan antara sesama.sebagaimana firmannya :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” ( Q.S Al- Maidah : 2 )

Ayat tersebut memberi suatu garisan kepada kita pada dasarnya tenggang rasa, jiwa tolong – menolong dan saling memberi kesempatan itu dianjurkan, tetapi hal itu semua berlaku dalam hal kebaikan dan taqwa kepada Allah SWT. Jangan kita coba – coba bekerjasama, memberi kata balance saling asih- asuh dalam unsur-unsur dan modifikasi yang menjurus kepada keburukan, perusakan dan kepentingan diri sendiri, bekerjasama dalam menyalahgunakan wewenang, jabatan dan kedudukan, penyelewengan potensi dan sumber daya manusia yang cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain.

3.      Memanggil saudara, teman, sahabat dengan panggilan yang paling disenanginya; point ketiga ini tidak kurang pentinganya untuk diperhatikan dalam menjalin kontak interaksi pergaulan yang harmonis ditengah – tengah masyarakat. Masing – masing indivindu semenjak lahir telah diberikan nama yang baik oleh orang tuanya masing –masing, pemberian nama itu juga merupakan doa agar sang anak kelak menjadi manusia yang baik sesuai dengan nama yang diberikan kepadanya. Untuk itu dalam pergaulan hidup hendaknya kita memanggil seseorang sesuai dengan nama yang sebenarnya walaupun ada istilah yang berkembang ditengah masyarakat “ apalah arti sebuah nama “. Istilah ini nampaknya perlu diperbaiki, karena betapa banyak orang yang marah dan rendah diri lantaran namanya dipanggil sembarangan atau tidak menurut nama yang sebenarnya. Umpamanya seorang lantaran kakinya pincang dipanggil “ si pincang “ atau tangannya pontong dipanggil “ si Pontong “, karena pendengarannya kurang dipanggil si pekak’ atau kulitnya penuh panu dipanggil “si belang”  dan sebagainya dan sebagainya. Pada dasarnya semua plesetan itu bernilai merendahkan orang dan menganggap kurang dari diri kita sendiri lantaran kecacatan fisik atau fsikis yang dialaminya. Ini sebetulnya kebiasaan yang tidak baik dalam khazanah pergaulan hidup manusia karena dapat merusak dan merenggangkan hubungan sesame manusia. Sebab kita bisa merasakan sendiri bagaimana kalau kita dipanggil orang lain tidak sesuai dengan nama yang sebenarnya, makanya tentu kita tidak berbuat demikian terhadap orang lain. Justru cukup beralasan bila terjadi perkelahian atau saling tidak tegur sapa lantaran nama seseorang dilecehkan, apalagi kalau nama baik seseorang kita injak-injak dan acak-acak tentu akan lebih berat lagi persoalannya, untuk itu panggilah saudara, sahabat dan teman kita dengan nama yang disenanginya.

Melalui uraian ini dapat dirasakan betapa harmonisnya hubungan pergaulan yang tertuang dalam konteks ajaran Islam. Bila ketiga komponen itu dapat terlaksana dalam realitas kehidupan setiap insan, dengan sendirinya akan terwujud kebersamaan, saling menghargai, dan menghormati, akan terasa dunia ini menjadi lapang dan tidak seluas daun kelor, akan terhindar sifat dan sikap meremehkan serta merendahkan dan sebagainya. Tentu semua ini menjadi harapan kita semua yang menyadari bahwa kita tidak bisa hidup sendiri, tetapi senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain dan lingkungan disekitar kita, kapan saja dimana dan dalam kondisi yang bagaimanapun juga .