Senin, 24 Oktober 2016

PENYAKIT RENDAH DIRI



PENYAKIT RENDAH DIRI
 
 Firman Allah SWT : "Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling beraqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS al-Hujurat [49]:13).

Faktor Orang Tua

          Tak sedikit orang merasa rendah diri lantaran orang tuannya miskin, pegawai rendahan atau bahkan buta huruf. Penampilannya tampak lugu atau kampungan, atau bahkan cacat dan penyakitan. Tak jarang pula perasaan ini datang mendera karena orangtua yang telah bercerai, berakhlak buruk, atau masih berstatus non-Muslim.
           
          Pendek kata, banyak orang yang mempersempit hidupnya karena keaadaan orang tua. Padahal segala perasaan rendah diri yang hanya terus-menerus dirasakan, tanpa disertai tindakan positif jelas tidak akan mengubah apapun selain hanya akan menambah sengsaranya hidup ini.

          Ketahuilah, seburuk apapun keadaan orangtua dalam pandangan kita, darah dagingnya melekat pada tubuh diri kita sendiri. Mestinya kita menjadi orang yang pertama yang paling berkewajiban berupaya dan memohon perkenan Allah agar segala kekurangannya diganti dengan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat.

          Betapa tidak! Sesungguhnya segala kekurangan yang ada pada keduanya sama sekali tidak akan menjatuhkan kita sekiranya kita sendiri benar-brnar penuh dengan kemuliaan dan berusaha memuliakan mereka, sesuai dengan tuntunan syariat. Bukankah kendati ayah Nabi Ibrahim as adalah seorang pembuat berhala, namun toh ternyata tidak sedikit pun mengurangi kemuliaannya?

          Ada sebuah kisah menarik: ketika seorang pengusaha besar memperkenalkan kedua orangtunya dari kampung yang notabene penampilannya amat lugu dan sederhana, ternyata respon dari rekan-rekan relasinya benar-benar hormat dan kagum.

          Semua ini justru karena mereka menyaksikan penghormatan dan kebanggaan sang anak yang tulus terhadap orang-tuanya. Oleh sebab itu, berbahagialah orang-orang yang memiliki orangtua yang sederhana. Karena dengan kesederhanaan, insya Allah keduanya di akhirat nanti akan ringan hisabnya. Kesederhanaan dalam penampilan, kesederhanaan dalam ilmu dan kesederhanaan dalam memanfaatkan rezeki yang dititipkan kepada keduanya, insya Allah akan membuat ringan tuntutannya dari Allah serta terlindung dari ujub dan takabur.

          Lihatlah, betapa tidak sedikit orang-orang yang tergelincir hatinya menjadi ujub dan takabur, justru dikarenakan kemuliaan dan kelebihan yang melekat pada orangtuanya. Orang yang demikian patut dikasihani karena tak ubahnya seperti membanggakan payung butut; sesuatu yang jelas-jelas tak lagi layak pakai, apalagi dijadikan kebanggaan.

          Orang yang suka merasa bangga dan membangga-banggakan orangtuanya memang ibarat membanggakan payung yang rusak. Ia seringkali terkagum-kagum sendiri dan berusaha membuat orang lain agar ikut kagum. Padahal pada kenyataannya orang lain seringkali tak kuat menahan perasaan sebal dan muak terhadapnya.

          "Hai, lihat nih ayah saya seorang pejabat, seorang jendral, seorang tokoh sejarah, seorang ulama hebat, begitulah kurang lebih ucapan yang senantiasa bergaung-gaung dalam hatinya bahkan kerapkali terlontar lewat mulutnya. Padahal, tak sedikit di antara mereka, para orangtua itu, yang telah masuk ke liang kubur dan telah hancur lebur tubuhnya dimakan cacing.

          Orang-orang seperti itu tiada lain merupakan orang-orang yang terkecoh. Orang tua yang berprestasi, anak yang sombong, seolah dirinya pun ikut berprestasi. Atau sekurang-kurangnya sang anak merasa seolah-olah ikut kecipratan kehebatan orangtua. Mereka benar-benar tidak sadar bahwa sebenarnya dirinya sendiri tetap berada dalam kebodohan. Ditambah lagi dengan dosa yang diakibatkan karena keterkecohan tersebut.

          Oleh karena itu, apapun dan bagaimanapun keadaan orang tua kita, jangan pedulikan pandangan orang lain. Karena, keduanyalah yang justru amat membantu kita kembali ke syurga. Baik dengan do'anya yang mampu menembus tujuh lapis langit, ataupun dengan didikannya yang mengarahkan kita kita ke jalan yang benar. Do'a orang lain belum tentu dikabulkan Allah, namun do'a orangtua pastilah akan sangat didengar dan diijabah oleh-Nya.

Kerelaan orang lain belum tentu akan membuat kita masuk ke syurga, tetapi keridhaan orang tua, tidak bisa tidak, akan membuat Allah ridha kepada kita. Kemarahan orang lain mungkin tidak akan begitu menimbulkan persoalan, namun kemurkaan orangtua pastilah akan membuat kita terhalang dari husnul khatimah, suatu kesudahan yang baik yang akan mengantarkan kita menuju syurga.

Bakti kita kepada keduanya benar-benar diperhatikan oleh Allah Yang Maha Menyaksikan segalanya. Dan sekiranya hati kita ikhlas dalam melakukannya, maka balasannya adalah kemuliaan dari Allah yang pasti datang. Sementara jannatun na'im, insya Allah, telah menunggu kepulangan kita.

          Jadi, sama sekali tidak ada alasan untuk merasa rendah diri hanya karena orang tua memiliki kekurangan. (Sumber : http://www.masjid.or.id)

Sempatkan Membaca Walaupun satu Halaman,....

Minggu, 23 Oktober 2016

BILA AIB DIRI KITA AKUI



BILA AIB DIRI KITA AKUI
 
            Dalam sebuah kesempatan, Sahl bin Abdullah r.a bertutur kisah, " Jika seorang hamba berbuat kebaikan, kata Sahl, lalu ia berkata. " Ya Allah Engkaulah yang memberi kemudahan kepadaku." Sekiranya engkau berkata begitu , maka Allah akan memuji hamba-Nya itu dengan firman-Nya, "Hamba-Ku, engkaulah yang berbuat taat dan taqarrub kepada-Ku. " Ini artinya, bahwa jika kita mengakui dengan sepenuh keimanan bahwa amal kebajikan itu dapat kita perbuat semata-mata lantaran Allah telah memberi kekuatan dan kesanggupan kepada kita untuk berbuat seperti itu, maka posisinya justru akan dibalikan oleh Allah dengan memuji ketaatan kita.
Akan tetapi sebaliknya, kata Sahl, jikalau hamba itu merasa beramal seraya tidak ingat akan taufik pertolongan Allah - kita berinfak karena merasa diri memang dermawan, menjadi ahli tahajjud semata-mata karena merasa diri memang mampu terbangun tengah malam, pendek kata, kita mampu beramal kebajikan itu karena perjuangan kita semata-mata, maka Alah akan berpaling sambil berfirman , "Hai ketahuilah, sesungguhnya Aku yang memberi taufik dan hidayah , Aku yang memudahkan engkau taat kepada-Ku, " jadi jika kita berpaling , maka Allah pun akan berpaling Kalau kita merasa berbuat amal kebajikan itu semata-mata karena perbuatan sendiri , niscaya Allah tidak akan menerima amalan kita tersebut.
Apabila seorang hamba berbuat kejahatan , lalu berkata, "Ya Allah. Engkau-lah sesungguhnya yang menakdirkan , menghukum , serta memutuskan saya berbuat salah . " Bila demikian , kata Sahl, maka Allah berfirman " Artinya, kalau kita menganggap kesalahan yang kita lakukan sebagai takdir Allah, maka justru dia akan mengembalikannya sebagai perbuatan kita.
Akan tetapi , kalau kita berbuat dosa kemudian bertobat , "Ya Allah.Aku telah berbuat zhalim terhadap diri. Ampunilah aku, ya Rabb", maka menurut Sahl, Allah akan berfirman, "Hai hamba-Ku.Sesungguhnya Aku-lah yang menentukan dan menakdirkan hal seperti itu. Aku pula yang akan mengampuni dan menutupi aib-aibmu"
Walhasil, sekiranya kita berbuat salah, itu belum tentu akan mencelakakan kalau toh dibarengi dengan bertobat dan kesungguhan dalam mengakui kezaliman diri. Namun, sekali kita merasa mulia, shalih dan memiliki kedudukan di sisi Allah, itu jauh lebih hina dibandingkan kalau kita merasa kotor , salah dan merasa berlumur dosa dihadapan-nya. Sebaik-baik manusia adalah orang yang dibukakan pintu hatinya, sehingga sadar akan aib-aibnya sendiri. Orang yang dekat dengan Allah sibuk merasakan malu akan aib yang melekat pada dirinya , tetapi orang yang jauh daripada-Nya sibuk merasakan diri mulia di sisi-Nya. Na'udzubillah, mudah-mudahan kita terhindar dari segala ketersesatan dalam beramal.***