MENABUR SERBUK PANAWAR HATI
Kisah di
bawah ini merupakan salah satu kisah nyata dari seorang Saudara kita yang
berasal dari kepingan – kepingan sejarah hidupnya dan aku abadikan menjadi
lembaran – lembaran penggugah Hati Insya Allah bermanfaat.
“Mampir bang Tris!” sapaku kepada seorang
laki-laki pengojek di pinggir jalan yang sedang menanti pelanggannya itu.
Sutrisno mangunkusumo nama lengkapnya, biasa mangkal di salah satu pos ojek
jalan di kelurahan namanya pangkalan
ojek MANOHARA. Sepanjang jalan tersebut ada tiga pos ojek yang jumlah
anggotanya sekarang tidak kurang dari 200 orang. “Yaaa……” jawab bang Sutris
setengah berteriak mengikuti arah sepeda motorku yang melaju di depannya pagi
itu selepas Sholat Fajar.
Hampir
setiap pagi hari, bang Sutris selalu ada disana bersamaan dengan beberapa
pengojek lain yang setia menanti pelanggan mereka, utamanya ibu-ibu yang akan
‘ke pasar’. Bang Sutris melakukan kegiatan rutin sebagai tukang ojek ini sudah
tidak kurang dari 10 tahun terakhir ini.
Bapak dua
orang anak laki-laki ini teman sekelas di SD salah seorang Dosenku di STAIN. Kami
bertetangga. Rumah kami hanya berjarak sekitar 50 meter. Bedanya, rumah
orangtua bang Sutris terletak diujung jalan, di pinggir sawah dan pekarangan.
Kala
Maghrib tiba, aku yang waktu itu masih semester 3, pergi ke rumahnya untuk
bersilaturahmi. Keluarga ku dikampung tergolong sederhana, tapi bang Sutris
jauh lebih sederhana lagi. Rumahnya terbuat dari gedek berukuran sekitar 35
meter. Tidak ada perabotan rumah, kecuali amben bambu dan meja panjang yang ada
di ruang tamu. Berlantai tanah dan beratap genteng tanpa langit-langit. Bocor?
Tidak perlu dipertanyakan!
Dosenku
pernah cerita, Bang Sutris adalah anak ketiga dari 5 bersaudara, 4 laki-laki,
seorang perempuan. Kami tidak terlalu dekat sebagai teman, namun saya tahu
Sutris anak pintar sewaktu di SD”. Dia hampir selalu menduduki rangking satu di
setiap kelas. Sekolah lanjutan pertamanya ditempuh di sebuah sekolah Islam
adalah hal lain yang membuat jarak kami menjadi semakin renggang. Sesudah itu
saya tidak lagi mendengar prestasi belajarnya lagi karena sekolah dan kelompok
belajar kami yang berbeda ulas Dosenku.
Malam itu
bang Tris bercerita kepadaku “Lulus SMA saya sempat berkeliling mencari kerja
di jakarta dan Kalimantan. Saya tidak melihat pekerjaan disana terlalu
menjanjikan masa depan, hingga saya harus balik ke kampung!”. “Hampir setahun
setelah pulang dari Kalimantan saya juga tidak menemukan pekerjaan. Akhirnya
saya penuhi panggilan kerja sebagai waiter di sebuah bar di Surabaya”.
“ Bar?”
kataku agak terkejut! Dunia bar yang aku tahu dari cerita dan film-film tidak
ubahnya dengan dansa, minuman keras, perjudian dan pebuatan non sosial yang
gitu – gituan deh..... Singkatnya, aku tidak habis pikir bagaimana orang
seperti bang Sutris harus mencari penghasilan di dunia tersebut. “Saya bekerja
rata-rata di malam hari. Siang hari tidur, dan malamnya melayani tamu-tamu
disana”. Hal itu berlangsung selama 7 tahun. “Lama juga Ya bang”. Kataku.
“Ya…..tapi kemudian saya diberhentikan karena perusahaan bangkrut!”
“Alhamdulillah..!” Desahku tak terdengar olehnya. Bang Sutris mengaku secara
finansial kondisi keluarganya cukup tertopang dengan kerjanya di bar. Selain
gaji, dia setiap hari dapat juga tips dan uang service lainnya. Tapi dari mana
sumbernya? Subhanallah! Bang Sutris ternyata sudah menyadari akan semua ini.
Selama tujuh tahun, hidupnya dipenuhi dengan kegelisahan karena pertentangan
batin. Dia dihadapkan antara kenyataan sulitnya hidup dengan aturan-aturan yang
seharusnya dia penuhi dalam menjalankan dan larangan yang ada pada ajaran
Islam. Di rumah, dia laksanakan sholat lima waktu, namun di dalam kerjaan dia
serve tamunya dengan minuman keras, padahal hal ini dilarang oleh agama. Bang Sutris
mengetahui pula bahwa orang-orang yang terlibat dosa dalam persoalan minuman
keras ini antara lain: yang menjual, yang membeli, ataupun yang menyajikan.
Semuanya yang terlibat dalam transaksi serta peredarannya berstatus sama:
berdosa!
Tujuh
tahun bekerja di bar cepat begitu berlalu. Setiap tahun sekali bang tris ke
kampung hampir setiap kali itu pula bisa merenovasi kondisi fisik rumah , Karena pekerjaannya di malam hari, nyaris
siang hari dia manfaatkan untuk istirahat alias tidur! Selama itu pula Ia
merasakan perkembangan fisik yang menggambarkan perbaikan status ekonomi
keluarganya. Rumah gedek orangtuanya sudah dibongkar, dan diganti dengan tembok
meskipun waktu itu yang masih separuh
saja yang sudah dibenahi. Lantai masih tanah. Saya turut senang mendengarnya.
Alhamdulillah, semoga Allah SWT menambahkan rejeki dan memudahkan usaha untuk membahagiakan
hati orangtua saya yang selama itu didera kemiskinan. Begitulah yang doa yang
tersimpan di hati ini terang bang Sutris. Bang Sutris ingin sekali mengobati
derita keluarganya dengan membagi sebagian rejeki yang diperolehnya. Saya tahu
saya tidak sendirian dalam mengalami dilema ini. Masih banyak orang-orang
seprofesi dengan saya yang mengalami problematika yang mirip dengan kehiduoan
saya.
“Aku
menikah!” katanya suatu hari. “Istriku orang Sunda. Dia bekas teman sekerja.
Tapi sudah saya suruh berhenti bekerja. Cukup saya saja!” katanya suatu hari,
menyentuh keharuanku. Istri bang Sutris begitu sederhana. Suatu hari ketika aku
bertamu, ibu dua anak ini sedikit menunduk-nunduk ketika menyuguhkan segelas
teh di meja depan Aku. Penampilan yang sederhana dan agak lusuh.
“Mana
anak bang Tris?” tanyaku. “Satu abang masukkan di pondok pesantren umur 9 tahun
sekarang, dan satunya…sedang ada di belakang!” katanya suatu hari di
pertengahan tahun 2011 lalu ketika saya pulang kampung. Sejak kepulangannya
dari Surabaya dan berhenti sebagai seorang supervisor di bar, bang Sutris
mengaku sulit mendapatkan pekerjaan. Sudah melamar kerja di berbagai hotel namun tidak juga mengasilkan buahnya.
Akhirnya, lewat bantuan salah satu kakak sepupunya, dia membeli sebuah sepeda
motor, dan keliling dunia alias ngojek hingga sekarang ini. Sesudah kelahiran
anak pertamanya, sejak itu pula dia menggeluti dunia ojek sebagai satu-satunya
sumber penghasilannya.
“Ngojek
ni dak lagi Cak dulu... Dulu masih sedikit orang yang punya sepeda motor. Tidak
separah ini jumlah pengangguran. Namun sekarang?” Elaborasi bang Sutris
setengah bertanya menghadapi salah satu kendala yang dihadapi para pengojek
saat ini. Jumlah 200 orang pengojek untuk penduduk kurang lebih 15 ribu jiwa
memang bukan sedikit. Disamping itu juga sudah banyak orang yang memiliki
sepeda motor. Kalau sudah demikian “Siapa palanggan kami?”, katanya seolah
protes. “Makanya saya berangkat pagi-pagi, hingga pulang nanti habis Maghrib!”
Bang Sutris
mengaku, meski ekonomi cukup sulit sekarang ini, akan tetapi hasil kerjanya
adalah halal. Tidak seperti ketika dia bekerja di bar, hasil dari minuman
keras. “Saya lebih tenang!” simpulnya. “Kehidupan lingkungan sekarang ini juga
tidak terlalu bagus buat perkembangan anak-anak” ungkapnya menanggapi fenomena
kenakalan anak-anak masa kini. Kualitas dan kuantitas kenakalan anak-anak
menjadi bagian dari perhatiannya. Itulah salah satu alasan yang dikemukakan
kepadaku kenapa dia harus kirimkan anaknya ke pondok pesantren. “Saya harus
keluarkan sekitar Rp 250 ribu sebulan buat kepentingan anak saya. Padahal dari
ojek saja, jika sudah mendapatkan Rp 10 ribu sehari, itu sudah beruntung untuk
ukuran saat ini. Tapi alhamdulillah, rejeki dari Allah SWT selalu datangnya tak
terduga. Dan itulah yang membuat batin ini tenang. Biarlah saya tempuh hidup
seperti ini, yang penting anak-anak memperoleh pendidikan dasar agama yang
tepat. Itu saja impian saya. Saya tidak ingin mereka mengalami nasib seperti
yang pernah terjadi pada saya”.keluh bang sutris seraya menghapus matanya yang
sedikit basah...
Bang Sutris
sekarang berkacamata. Kekusutan yang ada di wajahnya besar kemungkinan karena
pengaruh hempasan angin yang menerpanya setiap kali ia membonceng pelanggannya.
Garis-garis ketuaan diwajahnya mulai nampak, mengakibatkan dia lebih tua
dibanding usia dia sebenarnya. Bang Sutris terlalu banyak memikirkan berbagai
permasalahan yang selama ini menimpa keluarganya. Aku lihat rumahnya bagian
belakang juga belum rampung digarap. Konsentrasinya sepertinya tertuju pada
titik kehidupan lainnya. Bang Sutris sedang menabur bubuk penawar terhadap luka
yang pernah dideritanya beberapa tahun silam. Bubuk-bubuk pengobatan yang
diharapkan mampu mengurangi rasa sakit, pertentangan batin sebagai umat Islam
yang sedang menghadapi dilema kehidupan.
“Terimakasih
sekali atas bantuannya”. Ucapnya suatu hari selepas Maghrib ketika saya sempat
menemuinya untuk kali ketiga selama bulan Juni tahun lalu. Saya dan teman –
teman serahkan sejumlah bantuan dana untuk anak-anak sekolah dari keluarga yang
kurang mampu atas nama sebuah organisasi Islam. “Kami minta maaf bang, nggak
bisa memberikan sumbangan dalam jumlah banyak, karena ada beberapa orang anak
lain yang juga mengalami nasib yang sama dan membutuhkan bantuan. Kami berharap
semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat!” begitu saya kemukakan
kepadanya. Dihadapan kami, istrinya yang masih memegang nampan teh,
memperhatikan obrolan kami, sesekali memancarkan raut muka yang cerah.
Melukiskan kesyukuran nikmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka secara tidak
terduga.
Tujuh
tahun pengalaman hidup di dunia bar sudah cukup lama membuat batin bang Sutris
tersiksa. Sebagai pribadi dan seorang muslim dia pada dasarnya amat membenci
dunia kerjanya saat itu. Di lain pihak, keluarganya menuntut kebutuhan yang
tidak begitu saja bisa diabaikan karena kesempatan kerja yang sangat
kompetitif. Apalagi dengan hanya bermodal ijazah SMA. Bang Sutris begitu
menyadari akan segala keterbatasan kompetensi yang dimiliknya untuk bertarung
merebut sebuah pekerjaan. Ditambah lagi dengan beranjak usianya, perusahaan
lebih memberikan prioritas kepada usia muda yang masih produktif. Beberapa
kendala inilah yang membuat nyalinya ‘kecil’ untuk bisa segera memutuskan meninggalkan
pekerjaannya di bar.
Allah SWT
Mahabesar. Dia lah Yang membuka pintu hatinya, meski secara tidak langsung,
yakni dengan bangkrutnya bar tempat dia bekerja. Doa bang Sutris terkabul!
Dunia ojek yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, walaupun secara materi
tidak terlalu menjanjikan, akan tetapi memberikan hikmah kepadanya. Sebagai
seorang kepala keluarga, betapa berat menyaksikan ketindaksanggupannya selama
beberapa tahun sudah untuk menengok keluarga istrinya ke Jawa Barat karena
keterbatasan finansial ini. Meski demikian ketenangan dan kedamaian yang
diperoleh dari hasil mengojek sepertinya tidak bisa dinilai dan jauh diatas
jumlah angka yang tertulis di belakang Rupiahnya. Bang Sutris sudah mendapatkan
penawar untuk hatinya . Disitulah nilai hikmahnya.
Kawan.......Kepuasan
hidup memang amat relatif. Ditengah kesederhanaannya sebagai tukang ojek, bang Sutris
menemukan sesuatu yang lebih indah dibanding gemerlap lampu disko sebuah bar.
Layaknya orang yang sedang sakit yang sedang membutuhkan sebuah obat (panasea).
Kemanjurannya tidak harus bergantung kepada kemahalan harganya, namun kandungan
obat dan kemampuan tubuh dalam beradaptasi terhadapnya. Itulah yang dialami bang
Sutris. Penghasilan lebih yang pernah diperolehnya kala bekerja di bar, ternyata
tidak kuasa merajut ketenangan hidupnya, karena bertentangan dengan akidah
Islam yang dianutnya. Sebaliknya, hanya dengan mengojek sebuah sepeda motor,
dia bisa raih harapannya. Keseimbangan antara ibadah dan kepuasan kerja.
Subhanallah.............
Semoga kita dapat mengambil i’tibar
dari kisah diatas untuk dijadikan sebagai landasan kita didalam mengarungi
kehidupan,karena apalah artinya uang banyak tetapi hasil dari cara yang
haram,korupsi, manipulasi yang membuat hati tidak tenang selalu dihantui rasa
was – was dan kegelisaan yang menghambat ruang gerak kita.