Terkadang
secara tidak sadar, kita begitu sering memandang orang lain tanpa memandang
diri sendiri terlebih dahulu. Sehingga apa yang tergambar dari hasil pandangan
kita itu adalah cenderung kepada peremehan orang lain, menganggap orang lain
begitu berbeda (baca: lebih buruk), bahkan berpikir seolah hanya orang-orang
seperti kitalah yang berhak tinggal di dunia ini.
Setelah
itu, tidak jarang keluar kata-kata yang juga meremehkan, mengecilkan, dari
mulut ini sebagai kelanjutan dari pandangan awal yang sempit tadi. Dan ini,
seringkali dilakukan tanpa sadar karena memang bermula dari dalam dada (hati)
ini. Sungguh saudaraku, kita begitu lupa akan ingatan Allah bahwa belum tentu
orang-orang yang kita anggap lebih buruk (baca:diolok-olok) lebih buruk, bahkan
mungkin pada diri kitalah hakikat keburukan itu. Hanya saja, sekali lagi, kita
begitu sering tidak bercermin. Atau mungkin cemin itu begitu buram dan berdebu
karena terlalu lama tersimpan tanpa kita gunakan barang sebentarpun.
Saudaraku,
jika mungkin tidak secara lisan kita menghinakan, mencaci, mengecilkan, atau
menganggap remeh orang lain, bisa jadi kita juga melakukan semua hal itu dengan
sikap, cibiran bibir, gerakkan badan, ekspresi wajah atau hanya sekedar
menghinanya dalam hati. Betapa sering kita melemparkan uang kecil dari balik
pagar tinggi rumah kepada para pengemis, atau bahkan lontaran kata
"maaf" sambil berbalik dengan mulut menggerutu berharap pengemis itu
tidak datang kembali di lain hari.
Sesekali
dada ini membusung saat menghadapi atau berbicara dengan orang lain yang kita
anggap dalam posisi tidak lebih baik, tidak lebih beruntung, tidak lebih
pintar, tidak lebih tua. Bibir ini boleh jadi tetap mengembangkan senyum saat
berbicara dengan orang-orang itu, tapi senyum itu tentu akan sangat menyakitkan
bila mereka tahu bahwa hati ini sedang menghinakannya. Ketahuilah saudaraku,
manusia yang terlalu sering dihinakan, dizhalimi lebih peka mata bathinnya
sehingga mereka bisa dengan jelas membedakan mana keihklasan dan mana kepalsuan
atau kemunafikan.
Mungkin
kita merasa gerah, tidak betah bila harus berlama-lama dengan orang-orang yang
pakaiannya tidak sebagus yang kita kenakan, orang-orang yang menu makannya jauh
berbeda secara harga apalagi kandungan gizinya, dengan orang-orang yang tidak
memiliki kendaraan seperti kepunyaan kita, tidak bekerja seperti kita yang
karyawan, profesionalis, wanita karir, pengusaha, tidak berpenghasilan sebanyak
yang kita dapat, tidak berpendidikan setinggi yang kita raih saat ini.
Sungguh
juga saudaraku, cermin hati ini begitu kotor, sehingga memburamkan mata hati
ini dari melihat keberadaan malaikat Allah diantara kita dengan orang-orang itu
yang begitu dekat dan melekat. (Nu'man
bin Muqrin) berkata: "Bahwasannya ada seorang laki-laki mencaci orang lain
disisi Nabi Saw, kemudian orang yang dicaci mengatakan: "Mudah-mudahan
keselamatan tercurah atasmu." Lalu Nabi Saw bersabda: "Ketahuilah
bahwasannya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu; setiap kali
orang ini mencacimu. Malaikat itu berkata kepadanya: "Tetapi engkau,
engkaulah yang lebih berhak terhadap cacian itu; dan jika engkau mengatakan:
"Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu", maka malaikat itu
berkata: "Tidak, tetapi engkau, engkaulah yang berhak terhadapnya."
( HR. Ahmad)
Saudaraku,
mari segera kita bersihkan cermin hati ini, basuhlah ia dengan memperbanyak
mengagungkan kebesaran Allah, sehingga mengikis kesombongan yang sekian lama
terhujam dalam hati ini. Tanamilah benih-benih kebajikan dan amal sholeh
didasarnya, sehingga menumbuhkan bunga-bunga kesamaan dan penghormatan terhadap
sesama serta siramilah selalu hingga ke akarnya dengan air kesyukuran, sehingga
memupuk kerendahan hati ini. Wallahu
a'lam bishshowaab